1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikTurki

Turki Tuduh AS Dukung “Teroris” Kurdi

16 Februari 2021

Turki berang setelah AS menolak membenarkan klaim Ankara perihal keterlibatan militan PKK dalam pembunuhan 13 serdadunya di Irak. Presiden Erdogan menyebutnya “lelucon.” Menlu Blinken buru-buru meredakan ketegangan.

Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan
Presiden Turki, Recep Tayyip ErdoganFoto: Mustafa Kamaci/AA/picture alliance

Pemerintah Turki pada Senin (15/2) memanggil duta besar Amerika Serikat menyusul perselisihan teranyar antara kedua negara. Kisruh dipicu pembunuhan 13 serdadu dan polisi Turki di utara Irak, yang diyakini dilakukan oleh Partai Buruh Kurdi (PKK). 

Dalam pernyataannya, AS "mengecam kematian warga Turki,” tapi hanya "jika laporan tentang pembunuhan oleh PKK bisa dikonfirmasikan kebenarannya.”

Sontak Ankara menjadi berang. Presiden Recep Tayyip Erdogan menyebut reaksi Washington "lelucon,” sementara Kementerian Luar Negeri menyampaikan keluhan Turki kepada Duta Besar David Satterfield "dengan nada paling tegas.”

"Anda mengatakan Anda tidak mendukung teroris, ketika nyatanya Anda berada di sisi dan belakang mereka,” tukas Erdogan dalam sebuah pidato yang disiarkan di televisi, Minggu (14/2).  

Senin (15/2), menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, buru-buru menelpon rekan sejawatnya, Mevlut Casuvoglu, "untuk menegaskan keyakinan kami bahwa teroris PKK bertanggungjawab,” kata juru bicara Kemenlu, Ned Price, Selasa (16/2), tanpa menjelaskan apakah langkah Blinken merupakan reaksi atas pemanggilan duta besarnya di Turki.

Saling balas klaim 

Menyusul pembunuhan sandera Turki, Kementerian Dalam Negeri di Ankara Senin (15/2) mengumumkan sudah menahan 718 orang yang dicurigai berkaitan dengan pembunuhan tersebut, termasuk ketua umum partai oposisi terbesar kedua di Turki, HDP yang pro Kurdi. 

Korban eksekusi dikabarkan adalah sandera PKK. Kelompok yang dikategorikan sebagai organisasi teror oleh AS dkk. Tapi kelompok itu balik menuduh serangan udara Turki lah yang menewaskan ke13 orang. Ankara mengklaim korban dibunuh ketika pihaknya sedang melancarkan operasi penyelamatan.

Pangkalan militer AS di Irak dan di wilayah otonomi Kurdistan.

Daerah Otonomi Kurdistan di utara Irak sejak lama dianggap duri oleh Ankara, yang berperang melawan PKK dan kelompok separatis Kurdi lain. Setelah AS menarik diri dari utara Suriah untuk membuka jalan bagi invasi Turki pada 2019 silam, kawasan utara Irak dianggap sebagai tempat persembunyian baru bagi gerilayawan PKK.

PKK adalah pemberontak kiri yang sudah mengobarkan perang terhadap Turki sejak 1984. Kelompok ini dikategorikan sebagai organisasi teror oleh NATO dan Uni Eropa. Tapi saat yang sama, AS bekerjasama dengan kelompok Kurdi lain di utara Irak dan Suriah, yang disebut Ankara sebagai "cabang PKK".

Erdogan dikte kebijakan luar negeri AS

Isu Kurdi menjadi kerikil diplomasi antara Turki dan Amerika Serikat. Pada 2019, Presiden AS Donald Trump menarik mundur pasukannya dari utara Suriah atas desakan Erdogan. Buntutnya yang dikenal brutal dan tanpa ampun. 

Dalam operasinya, Turki dilaporkan ikut mengerahkan kelompok jihadis Suriah untuk menggempur kota dan desa Kurdi. Akibatnya 300.000 orang mengungsi. Bagi organisasi HAM, serangan delapan hari itu mengindikasikan kejahatan perang dan pembersihan etnis.

Dalam perselisihan teranyar, Erdogan menuntut kejelasan sikap Washington. Dia ingin agar AS mencabut dukungan terhadap Syrian Democratic Force (SDF) karena diyakini berafiliasi dengan PKK. SDF adalah sekutu utama AS dalam menghalau Islamic State dan melawan pemerintah Bashar Assad.

Lebih lanjut, Erdogan meminta Washington mendukung sepenuhnya kampanye anti-terorisme yang dilancarkan Turki.

"Jika kita ingin bersama di NATO, Anda harus bersikap jujur. Anda tidak seharusnya berada di sisi kelompok teroris,” kata dia. "Setelah ini, ada dua opsi: antara mendukung Turki tanpa pertanyaan, atau mereka akan menjadi mitra bagi setiap pembunuhan dan pertumpahan darah.”

"Kelompok teroris yang ada di pintu rumah kami, di perbatasan kami, mereka membunuhi warga tidak berdosa.”

Hingga kini, Erdogan masih menunggu panggilan telepon pertama dari Presiden AS Joe Biden sejak pelantikannya, 20 Januari silam.

rzn/hp (rtr,afp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait