1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PendidikanIndonesia

Sebesar Apa Peluang Pekerjaan Hijau Buat Generasi Muda?

5 Maret 2024

Pekerjaan hijau menjaga atau memulihkan lingkungan di sektor tradisional seperti manufaktur atau konstruksi, atau sektor yang muncul seperti energi terbarukan dan efisiensi energi.

Ilustrasi pekerjaan di bidang energi terbarukan
Ilustrasi pekerjaan di bidang energi terbarukanFoto: Ute Grabowsky/photothek/picture alliance

Brigitta Christa Natasha, 20, bergegas menuju Ruang Terbuka Hijau Publik (RTHP) Taman Warungboto, Yogyakarta. Pagi itu, dia dan beberapa rekan-rekan dari generasi Z tengah menyiapkan acara Green Jobs Fair untuk menggaungkan penciptaan green jobs atau pekerjaan hijau demi masa depan Indonesia yang berkelanjutan.

Mahasiswi semester enam Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) menuturkan bahwa pengertian pekerjaan hijau masih belum familiar di tengah masyarakat. Terutama bagi kalangan sebelum generasi Z, kata Brigitta. Ia menilai akses informasi pekerjaan hijau di Indonesia belum begitu terbuka luas.

"Untuk semakin mendapatkan informasi pekerjaan hijau ada website khusus cuman sayangnya dari luar negeri. Pekerjaannya di luar negeri. Di Indonesia belum ada,” kata Brigitta kepada DW Indonesia.

Catatan pemerintah melalui Kementerian PPN/Bappenas memperkirakan akan ada 15,3 juta pekerjaan baru di sektor ekonomi hijau hingga 2045. Tapi, belum ada data spesifik mengenai ketersediaan green jobs secara luas di level nasional maupun global.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Pekerjaan hijau adalah pekerjaan yang berkontribusi dalam menjaga atau memulihkan lingkungan di sektor tradisional seperti manufaktur atau konstruksi, atau sektor-sektor hijau baru yang muncul seperti energi terbarukan dan efisiensi energi, seperti dikutip dari laman Organisasi Buruh Internasional (ILO).

Pekerjaan hijau mulai diminati generasi muda

Generasi muda di Indonesia memiliki minat yang cukup tinggi untuk berkarya di pekerjaan hijau, menurut Iben Yuzenho, pendiri Sebumi, perusahaan rintisan di sektor konservasi dan keberlanjutan melalui pembelajaran langsung di alam.

Ketika perusahaannya membuka lowongan pekerjaan sebagai eco-tourism coordinator atau sustainability educator misalnya, Iben terkejut lulusan baru dari universitas-universitas ternama di Indonesia seperti Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Gajah Mada ikut melamar.

"Sebumi mendapat respon positif ketika buka lowongan kerja. Beragam anak muda yang tertarik, padahal mungkin masih ada pilihan lain atau yang lebih baik," kata Iben kepada DW Indonesia melalui sambungan telepon. Dia menengarai semangat keberlanjutan yang diusung perusahaannya menarik minat banyak anak muda untuk melamar.

Tidak hanya pembukaan lowongan pekerjaan, Iben melanjutkan ketika perusahaan yang ia dirikan pada tahun 2018 membuka kesempatan sebagai sukarelawan juga menarik banyak anak muda.

"Kegiataan volunteering nanem mangrove buka untuk 20 orang, yang daftar 2.000 orang 90% anak muda," tutur Iben.

Pahami konsep keberlanjutan

Iben mengatakan bahwa para pelamar harus memiliki pemahaman dasar mengenai isu lingkungan, prinsip keberlanjutan, atau Environmental, Social, and Governance (ESG).

Kemudian, ia juga menekankan pentingnya kemampuan berpikir kritis untuk menawarkan pemecahan masalah. "Kemampuan untuk memahami masalah berbasis data kemudian kemampuan spesifik menciptakan solusi inovatif," terang Iben. 

Ia mencontohkan, pekerjaan koordinator ekowisata di Sebumi bertanggung jawab mendesain pengalaman wisata yang memperhatikan aspek alam dan ekonomis. Profesi tersebut menggabungkan pemahaman keberlanjutan yang dikombinasikan dengan pemahaman tertentu yang dipelajari di bangku kuliah.

"Keterampilan spesifik akan mendukung bidang tertentu di pekerjaan hijau misalnya koordinator ekowisata bidang pangan, energi, atau air," ujar Iben. 

Ia menilai bahwa sektor pariwisata, utamanya yang didominasi oleh pariwisata massal perlu perubahan agar bisa memberikan dampak positif terhadap lingkungan. Sebagai contoh, ketika perusahaannya menggelar kegiatan pendakian gunung tanpa limbah, semua peserta harus memastikan tidak ada sampah yang tertinggal.

"Kita hitung emisi di ujung perjalanan. Kita juga offset dengan menanam pohon," ungkap Iben.

Bagaimana kesiapan institusi pendidikan?

Sementara itu, Brigitta yang mengambil jurusan Sistem Informasi di UAJY mengatakan pengetahuan isu-isu lingkungan tidak diajarkan secara formal di bangku perkuliahan. Oleh karena itu, ia aktif mengikuti banyak lomba yang mengasah penciptaan solusi mengatasi masalah lingkungan. Ia juga aktif di komunitas Teen Go Green Indonesia dan Kanca Taman yang memang berkaitan dengan isu lingkungan.

Hal itu ia lakukan untuk semakin menunjang kapabilitas dirinya agar bisa terserap atau bahkan menciptakan pekerjaan hijau. "Menciptakan aplikasi yang mendukung gaya hidup rendah emisi dan mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG)," kata Brigitta kepada DW Indonesia.

Menurut, Irvan Setiadi Kartawiria, dosen senior program studi Sustainable Energy and Environment Swiss German University, mahasiswa saat ini lebih mudah memahami isu-isu lingkungan karena mengikuti tren dunia.

Namun lain pihak, para dosen menghadapi tantangan untuk mengajarkan isu-isu lingkungan kepada mahasiswa mereka. Apalagi yang bidang ilmunya seolah-olah jauh dari topik-topik keberlanjutan, misalnya akuntansi, keuangan, atau perpajakan, tambah Irvan.

"Bagaimana membekali dosen dengan wawasan keberlanjutan atau lingkungan. Itu kita lihat tidak mudah membekali dosen karena harus ada konteks masing-masing bidang," papar Irvan.

Universitas berkontribusi untuk menyiapkan tenaga kerja terdidik dan terlatih memperkenalkan konsep SDG ke dalam kurikulum pendidikan. Namun, Irvan mengatakan konsep-konsep tersebut diajarkan bukan sebagai mata kuliah tersendiri seperti pada umumnya. 

"Contohnya, fakultas teknik menyampaikan peralatan manufaktur rendah konsumsi energi, fakultas pangan dengan pasokan pangan yang berkelanjutan, atau akuntansi dengan investasi yang berkelanjutan," Irvan mencontohkan.

Tren lima tahun belakangan, lanjut Irvan, universitas-universitas di Indonesia sudah meminta materi-materi tersebut untuk dimasukkan ke dalam kurikulum perkuliahan. Penyusunan kurikulum tersebut mengacu pada pertemuan antara asosiasi profesi dengan perguruan tinggi, tambahnya.

Ia menilai universitas-universitas di Indonesia secara umum sudah mumpuni untuk menjawab kebutuhan tenaga kerja di pekerjaan hijau. Misalnya, universitas atau politeknik yang mengajarkan penggunaaan energi terbarukan untuk kendaraan Listrik. Atau fakultas-fakultas ekonomi manajemen yang juga mulai mengajarkan green business untuk perusahaan-perusahaan rintisan. (ae)

Leo Galuh Jurnalis berbasis di Indonesia, kontributor untuk Deutsche Welle Indonesia (DW Indonesia).
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait