1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanIndonesia

Diagnosis Diri Sendiri, Tren yang Bagai Pisau Bermata Dua

21 November 2023

Diagnosis diri sendiri atau self-diagnose boleh-boleh saja, tapi bisa jadi berbahaya jika usai mendiagnosis diri sendiri, orang lalu memutuskan untuk mengobati diri sendiri.

Ilustrasi riset gejala penyakit di internet
Ilustrasi riset gejala penyakit di internetFoto: Weronika Peneshko/dpa/picture alliance

Pernah lihat konten media sosial yang isinya tanda-tanda kondisi mental seseorang dan kamu merasakan hal yang sama?

Di zaman yang serba tidak terbatas ini, ditambah dengan banyaknya cara untuk mencari apa pun di internet dan media sosial, godaan untuk mengambil kesimpulan sendiri tentang kondisi dan penyakit diri sendiri sangatlah tinggi.

Hal ini umum dikenal sebagai self-diagnose atau mendiagnosis diri sendiri. Berbagai pro dan kontra tentang diagnosis mandiri berdasar konten internet pun mencuat.

"Saya tidak tahu awalnya kenapa, perut rasanya tidak enak, lemas, terasa mau muntah, lalu ada yang mengganjal di tenggorokan. Rasanya aneh banget," kata Marsya Anggraini di Jakarta kepada DW Indonesia.

"Lihat di sosial media ternyata ada ciri-ciri sakit lambung. Ya sudah minum obat maag aja kali-kali sembuh. Setelah beberapa lama minum obat maag tidak sembuh juga, baru nyerah dan ke dokter. Setelah diperiksa dokter, ternyata sudah jadi GERD akut dan dirawat."

Brigida Alexandra seorang karyawan di Jakarta yang juga kerap terpapar konten kesehatan justru memakainya sebagai acuan awal.

"Aku biasanya lebih kepada acuan biar tahu mesti ke dokter apa dan lainnya. Dan biasanya kan dokter-dokter itu belum tentu jelasin detail ya. Nah aku tahu musti counter apa berkat searching dulu," ucapnya kepada DW Indonesia.

Sementara Hafid Arsyid mungkin sedikit berbeda soal ini. Dia justru didiagnosis temannya. "Kadang orang lain yang justru melabeli aku 'kayaknya lu bipolar deh, mirip gejalanya,'" kata dia. 

Tren diagnosis diri sendiri

Tapi sejak kapan sih tren ini muncul? Psikolog Mira Amir menyebut bahwa hal ini mulai merebak sejak pandemi Covid-19 beberapa tahun lalu.

"Berada di masa pandemi kemarin banyak yang akhirnya mengalami kondisi kesehatan mental yang menurun. Mereka merasa ketidaknyamanan dan perubahan suasana hati, perilaku, emosi, kualitas interaksi yang tidak seperti sebelumnya," katanya kepada DW Indonesia.

"Cuma saat itu sulit keluar rumah sehingga untuk ketemu profesional pun sulit. Yang paling mudah adalah akses informasi dari internet dan saat itu makin banyak konten yang berisi hal-hal seperti itu, dan banyak cocok-cocokin gejala yang mereka rasakan. Banyak yang juga direka-reka saja." 

Hal ini sebenarnya manusiawi karena menjadi bagian dari upaya manusia untuk mencari tahu ada apa dengan dirinya, ucap psikolog Mira Amir.

Ibarat pisau bermata dua

Lantas apakah itu berarti self-diagnose adalah hal yang tepat dilakukan? Mira menyebut diagnosis mandiri sebenarnya boleh saja dilakukan, hanya saja cara ini bisa menjadi pisau bermata dua.

Diagnosis mandiri bisa menjadi hal yang baik ketika ini menjadi sebuah cara untuk mengenali masalah awal. Namun bisa jadi berbahaya jika usai mendiagnosis diri sendiri, orang lalu memutuskan untuk juga mengobati diri sendiri.

"Saya selaku profesional, self-diagnose itu tidak cukup. Disarankan tetap ketemu profesional. Harus ketemu sama professional ya untuk memastikan diagnosanya."

"Kalau sudah tahu kamu punya gangguan tertentu, habis itu gimana? Langkah selanjutnya itu penting. Jadi tidak terpaku pada label diagnosis sendiri. Orang yang terpaku pada hasil diagnosis sendiri itu membuat mereka dalam kondisi berbahaya. setelah merasa punya masalah, mereka belum tahu seberapa seriusnya masalah itu, Ada hal yang bisa dielaborasi sebagai langkah pencegahan, sehingga kondisi tidak semakin parah."

Mira menyebut bahwa beberapa orang sering berpikir berlebihan saat mereka merasa punya masalah kesehatan. Meski masih dugaan, orang bisa jadi malah berpikir tentang penyangkalan atau sebaliknya, semakin terpuruk.

"Ini sudah jadi berbahaya kalau sudah keberfungsian diri kita sendiri. Misalnya, jadi sulit makan, turun berat badan, jadi makan berlebihan, sulit tidur, sulit konsentrasi, tidak produktif, sampai menarik diri."

Butuh validasi?

Didiagnosis memiliki penyakit tertentu sering kali memang membuat sedih. Namun, Mira menyebut sering kali ada pasiennya yang justru merasa 'keren.'

"Beberapa orang yang mendiagnosis diri sendiri dan menganggap dirinya punya masalah kejiwaan itu keren. Kadang mereka datang ke saya, sudah lebih pintar sebut nama-nama masalah kejiwaan, dari bipolar, Borderline Personality Disorder (BPD), MDD (Major Depressive Disorder) dan lainnya. Pintaran mereka," ucapnya.

"Ketika mereka beranggapan punya masalah ini, ini bisa jadi cara mereka buat narik perhatian. Kan kalau orang sakit biasanya diperhatikan, ditanyain kabarnya dan mereka senang." Karena itulah, kata dia, penting untuk mendapat lanjutan pemeriksaan. 

"Harus ke ahlinya kalau mau sembuh dan untuk tahu apa sih sebenarnya yang terjadi dan dibutuhkan? Apakah butuh diperhatikan, butuh pengakuan atau validasi, atau ada kondisi lainnya," ujar psikolog Mira Amir.

Gejala sama, gangguan pencernaan dikira sakit jantung

Diagnosis mandiri kerap dikaitkan dengan masalah kesehatan mental. Namun ada juga pasien yang memiliki masalah kesehatan fisik juga melakukan hal ini. Dokter umum Handoko Tanasa mengaku kerap menemukan pasien yang melakukan diagnosis mandiri.

"Saya pribadi setuju saja jika ingin self-diagnose, namun alangkah baiknya disertai juga dengan konsultasi ke tim medis, untuk memastikan dan mendapat pengobatan jika perlu," kata dokter Handoko kepada DW Indonesia. 

"Yang perlu diketahui di sini adalah yang mana fakta dan mana yang hoaks, di sini mungkin peran tenaga medis sangat berpegaruh. Dengan dukungan informasi tanpa batas mungkin sebagian besar orang sudah mampu menduga-duga sebenarnya dia sakit apa hanya dengan memasukan ketikan informasi ke ponsel. Namun apakah informasinya benar?" katanya.

Yang dikhawatirkan, pelaku diagnosis mandiri bakal mengarah ke pengobatan atau penanganan yang salah jika tidak segera diluruskan.

"Bayangkan jika dia bilang dia serangan jantung dan langsung minum obat jantung padahal dia hanya gangguan pencernaan. Contoh lainnya yang paling sering dijumpai orang diabetes yg sering bilang "saya tahu kapan gula saya naik tanpa harus dicek darah" nah ini lebih berbahaya, karena dapat membuat kondisi semakin buruk."

Gejala bisa sama, tapi sakitnya belum tentu sama. "Jangan pernah memberi pengobatan terhadap diri sendiri, bahkan jika seorang medis sakit dia tetap harus berobat ke medis juga," tegas dokter Handoko. (ae)

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif yang akan kami pilih setiap Rabu untuk kamu. Kirimkan e-mail kamu untuk berlangganan Newsletter mingguan Wednesday Bite.

C. Andhika S. Detail, humanis, dan tidak ambigu menjadi pedoman saya dalam membuat artikel yang berkualitas.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait