1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Benarkah Indonesia Darurat Kebebasan Berbicara?

Prita Kusumaputri
18 Juni 2020

Unggahan kritik berbalut guyonan terhadap situasi hukum di Indonesia, berujung serangan dari Buzzer. Putri Gus Dur dan ketua AJI mengatakan, intimidasi terhadap kebebasan berbicara dan kebebasan pers semakin tinggi.

Simbol seseorang mengutarakan pendapat di dunia digital
Foto: picture-alliance/dpa/S. Gollnow

Pekan lalu, kritik berbalut guyonan yang diunggah komedian muda Bintang Emon di akun Instagramnya berujung serangan dari Buzzer. Dalam video berdurasi 1 menit 43 detik itu, Bintang menyinggung tentang tuntutan ringan bagi dua terdakwa kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan.

Pekan ini, publik kembali diramaikan dengan peristiwa pemanggilan oleh polisi terhadap Ismail Saleh, seorang pria asal Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara. Ismail diketahui mengunggah postingan bertuliskan “Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng”. 

Kutipan tersebut merupakan guyonan lawas dari Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang memang telah sering dikutip di mana-mana.

Hashtag #IndonesiaDaruratHumor menggema di Twitter

Keluarga mendiang Gus Dur pun bereaksi terkait pemanggilan polisi tersebut.

“Laaah yang dipanggil, kok, yang meng-quote. Panggil yang bikin joke dong, Pak," cuit putri bungsu Gus Dur, Inayah Wulandari atau Inayah Wahid, di akun Twitternya, Rabu, 17 Juni 2020.

Sementara putri sulung Gus Dur, Alissa Wahid meminta polisi belajar dari mantan Kapolri Tito Karnavian. Pasalnya Tito pernah mengutip lelucon yang sama saat menghadiri peringatan haul Gus Dur di Ciganjur, tahun lalu.

"Pak Polisi, ada teladan nih dari pemimpin anda semua, mantan Kapolri Jendral Polisi Tito Karnavian, sekarang Menteri Dalam Negeri. #IndonesiaDaruratHumor," kata Alissa sambil mengunggah foto Tito yang disertai lelucon Gus Dur.

Alissa yang juga merupakan Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, mengatakan pemanggilan Ismail itu merupakan bentuk intimidasi institusi negara terhadap warganya, seperti dilansir dari Tempo.

"Hal ini menambah catatan upaya menggunakan UU ITE sebagai instrumen untuk membungkam kebebasan berpikir dan berpendapat di Indonesia," kata Alissa dalam keterangan tertulisnya, Kamis (18/06).

Pakar hukum pidana, Asep Iwan Iriawan mengatakan sebenarnya pemanggilan oleh polisi boleh saja dilakukan asal dasar hukumnya jelas.

“Ketika penegak hukum memanggil harus ada alasannya, dibuat jelas sebagai apa, sebagai saksi, sebagai tersangka, harus ada alasan,” ujar Asep kepada DW Indonesia, pada Kamis (18/06), seraya menambahkan bahwa pemanggilan tidak boleh hanya untuk klarifikasi.

Ia mengatakan pada dasarnya semua orang bisa berpendapat. Lalu, ketika ada pemanggilan atas alasan tertentu oleh pihak kepolisian, maka harus didasarkan atas adanya laporan atau pengaduan.

“Harus jelas alasannya memanggil. Orang juga yang dipanggil enggak usah takut kalau misalnya alasannya demi kepentingan umum, demi pembelaan,” sebutnya.

Presiden ke-4 Indonesia Abdurrahman Wahid alias Gus Dur memang dikenal senang humorFoto: Getty Images/P. Bronstein

UU ITE dan kebebasan pers

Keberadaan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah lama menjadi perdebatan. Oleh beberapa pihak, UU ITE kerap dianggap mengancam kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan pers.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Abdul Manan, menguraikan kritik paling mendasar terhadap penyalahgunaan UU ITE yang seringkali ditunggangi oleh kepentingan lain.

“Kan dulu Undang-undang ITE ini semangatnya untuk mengatur soal transaksi elektronik […] tetapi pemerintah dan DPR kita anggap menyelundupkan pasal pencemaran nama baik, yang sebenarnya sudah ada dalam KUHAP,” ujar Abdul Manan kepada DW Indonesia, ketika dihubungi hari Kamis (18/06).

Ia pun menambahkan: “Pasal-pasal di UU ITE itulah yang selama ini terbukti sering dipakai untuk dengan mudah memidanakan wartawan.”

Pengeritik pemerintah ditekan, tidak hanya di Indonesia

Pada awal pekan ini, seorang jurnalis kawakan Filipina sekaligus pemimpin redaksi Rappler, Maria Ressa, divonis bersalah atas tuduhan pencemaran nama baik. Jurnalis yang pernah bergabung dengan CNN itu dilaporkan oleh seorang pengusaha atas sebuah berita tentang keterlibatan pebisnis tersebut dengan kasus pembunuhan, perdagangan orang dan narkoba. 

Pegiat HAM dan advokat pers Filipina meyakini Maria Ressa dan media Rappler menjadi target upaya hukum karena kerap kritis terhadap kebijakan pemerintahan Presiden Filipina Rodrigo Duterte, yang dianggap kontroversial.

Di Amerika Serikat, Direktur VOA Amanda Bennett dan Wakil Direktur Sandy Sugawara, mengumumkan pengunduran diri pada Senin (15/06). Pengunduran diri mereka diyakini akibat adanya tekanan dari kubu Presiden AS Donald Trump. Banyak pihak menyebutkan, kedua peristiwa ini menunjukkan kebebasan pers semakin yang terancam akibat adanya tekanan dari pemerintah.

Jurnalis Filipina Maria RessaFoto: Reuters/E. Lopez

"Tren merisaukan"

Menanggapi hal ini, Abdul Manan mengatakan bahwa sangat mungkin hal serupa terjadi di Indonesia.

“Yang menjadi tren cukup merisaukan juga adalah bagaimana orang-orang yang tidak suka kepada pers, misalnya menggunakan media sosial melalui Buzzer untuk mem-bully wartawan,” katanya.

Menurut Abdul Manan, tindakan perundungan di media sosial semacam itu adalah bentuk intimidasi terhadap wartawan, karena ada pihak-pihak yang tidak suka dengan berita yang dianggap menjelek-jelekkan pemerintah.

Ia menyebut tanda-tanda tekanan terhadap kebebasan pers semakin tinggi, terutama melalui intimidasi di media sosial. “Kebijakan pemerintah yang kita anggap tidak suportif terhadap kebebasan, melalui pemblokiran internet, itu adalah tanda nyata bahwa ruang kebebasan pers tendensinya semakin menyempit dan menjadi alarm bagi pers,” tutupnya. (pkp/hp )